CTL

PRINSIP CTL
Terdapat tujuh prinsip (pilar) CTL yang diharapkan dapat mengubah pembelajaran dari tradisional ke pembelajaran kontekstual. Ketujuh prinsip CTL tersebut diuraikan berikut ini.
Pilar 1: Konstruktivisme
Paradigma pembelajaran constructivistic telah disuarakan dengan lantang oleh Degeng (2002) sebagai hal yang wajib untuk merevolusi pembelajaran di Indonesia apabila kita ingin menghasilkan sumber daya manusia yang ideal (dalam Latief, 2002). Paradigma behavioristic yang dipegang guru selama ini, yang wujudnya dalam proses pembelajaran berupa transfer pengetahuan dari guru ke siswa, telah menunjukkan kegagalannya dalam menghasilkan lulusan pendidikan yang ideal. Cara pandang behavioristic ini harus secara radikal diganti dengan cara pandang constructivistic.
Ciri khas paradigma constructivistic adalah keaktifan dan keterlibatan siswa dalam upaya proses belajar dengan memanfaatkan pengetahuan awal dan gaya belajar masing-masing siswa dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila siswa mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya.Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan, guru hanya membantu siswa dengan memberikan arahan atau media dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dikuasai siswa. Namun, tanggung jawab penyelesaian tugas tetap pada diri siswa. Ada kemungkinan dalam mengerjakan tugas, siswa melakukan beberapa kesalahan, tetapi dengan mediasi atau bantuan baik berupa umpan balik, bimbingan maupun petunjuk yang diberikan guru, siswa dapat mengerjakan tugas-tugas tersebut dan mencapai tujuan. Pemberian bantuan semacam ini dikenal dengan istilahscaffolding.
Pilar 2: Inkuiri
Inquiry adalah kegiatan inti dari pembelajaran berbasis CTL. Inquiry diawali dengan pengamatan untuk memahami konsep/fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Dengan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, siklus inquiry adalah sebagai berikut: mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan data, menganalisis data , dan merumuskan teori.
Pilar 3: Bertanya (Questioning)
Questioning atau bertanya adalah salah satu prinsip pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong siswa mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, membimbing dan mengetahui kemampuan berpikir siswa.
Bertanya merupakan bagian yang sangat penting dalam belajar. Pertanyaan yang diajukan oleh siswa merupakan indiaktor bahwa siswa sudah mulai belajar. Tanpa pertanyaan, siswa dapat dikatakan belum belajar. Jika seseorang siswa bertanya, maka ia sudah melihat permasalahan atau masalah pada sesuatu yang sedang dipelajari. Pemunculan masalah menandakan bahwa siswa sudah mulai berpikir, dan jika masalah itu dirumuskan menjadi pertanyaan berarti siswa itu berkehendak untuk menemukan jawaban atas masalah yang ditemukan; berarti pula siswa berkehendak untuk mengembangkan pikiran lebih lanjut. Itulah belajar.
Pertanyaan juga sangat penting dalam proses pembelajaran, Socrates (dalam Hasibuan, 1988) mengutarakan bahwa pertanyaan merupakan “the very core of teaching”. Dalam model pembelajaran konvensional (“pembelajaran berbasis pengetahuan”), guru pada umumnya mengajukan pertanyaan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana materi pelajaran yang diceramahkan guru sudah dipahami siswa, atau hanya untuk membawa siswa ke pamahaman materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Namun, pertanyaan yang diajukan dalam proses pembelajaran kontekstual mempunyai tujuan lebih dari itu. Louisel dan Descamps (1992) menyebutkan tiga tujuan pokok dari dikemukakannya pertanyaan dalam proses pembelajaran, yaitu: meningkatkan tingkat berpikir siswa, mengecek pemahaman siswa, dan meningkatkan partisipasi belajar siswa. Pada pembelajaran berbasis kompetensi, khususnya pada pembelajaran yang menggunakan model belajar penemuan (discovery-inquiry learning), tujuan diajukannya pertanyaan dalam kelas lebih banyak lagi, yang utama adalah:
1) mendorong siswa untuk menggali informasi,
2) merangsang rasa ingin tahu,
3) melatih siswa untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah,
4) membimbing siswa untuk merumuskan hipotesis,
5) membimbing siswa untuk mengolah data,
6) membimbing siswa untuk menarik kesimpulan berdasarkan data,
7) membimbing siswa untuk mentransfer pengetahuan atau konsep ke masalah baru atau ke penerapan dalam pemecaham masalah.
Aspek penting yang perlu ditekankan dari prinsip bertanya ini adalah bagaimanaguru memfasilitasi siswa agar siswa mau dan bisa bertanya, tukar pengalaman, dan berbagi ide. . Pertanyaan kreatif diharapkan muncul dari siswa. Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar
Pilar 4: Masyarakat Belajar
Masyarakat belajar atau Learning community adalah kegiatan pembelajaran yang difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Aspek kerja sama dengan orang lain untuk menciptakan kerja sama yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang menerapkan learning community.
Hal yang berbeda dan mendapatkan penekanan dalam pembelajaran yang menerapkan prinsip masyarakat belajar adalah pentingnya membangun tim atau kelompok yang tangguh. Kelompok yang tangguh adalah kelompok yang tiap anggotanya mau saling berbagi, saling mendukung, saling mau menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.
Selain tim yang tangguh, dalam masyarakat belajar juga dituntut adanya pemilihan tugas yang kompleks dan jelas sehingga layak untuk didiskusikan, diperlukan pengelolaan yang baik agar kegiatan diskusi dapat dipertanggungjawabkan kualitas hasilnya, jelas penilaiannya. Dan satu aspek lagi yang perlu dipegang teguh adalah dalam masyarakat belajar kualitas individual tetap menjadi perhatian meskipun bekerja dalam kelompok. Dengan demikian, anggota yang hanya bergantung pada orang lain tanpa inisiatif dan partisipasi tentu tidak harus dihindari dengan menggunakan teknik diskusi atau pembelajaran yang benar-benar kooperatif bukan sekedar kolaboratif.
Masyarakat belajar adalah salah satu kecakapan hidup yang perlu dilatihkan sejak dini karena pada kenyataannya dalam hidup bermasyarakat, 99% sukses hidup seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam bekerja sama dengan orang lain.
Pilar 5: Pemodelan
Teori tentang pentingnya pemodelan dalam pembelajaran kontekstual diadopsi dari teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Bandura (Dahar, 1989). Dalam teorinya, Bandura berpendapat bahwa manusia itu belajar dari suatu model dan belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain. Sebagai contoh: guru-guru olah raga mendemontrasikan loncat tinggi dan para siswa menirunya. Bandura menyebut ini no-trial learning, karena siswa tidak harus melalui proses pembentukan (shaping process), tetapi dengan segera menghasilkan respons yang benar (Dahar, 1989).
Dalam teori pemodelan ini, dikemukakan empat fase belajar dari model, yaitu: fase perhatian (attention phase), fase retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivational phase). Fase-fase tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut.
FASE PERHATIAN
FASE RETENSI
FASE REPRODUKSI
FASE MOTI-VASI
PENAM-PILAN
Model
Bagan 1: Fase-fase Belajar Pemodelan
Fase pertama dalam belajar melalui model adalah memberikan perhatian pada suatu model. Pada umumnya orang akan memperhatikan apabila model yang ditampilkan itu menarik, aktual, dan populer. Oleh karena itu, dalam menerapkan pembelajaran dengan teknik pemodelan, seorang guru harus menampilkan model yang benar-benar menarik, aktual, dan populer agar mendapatkan perhatian dari para siswa, mendapatkan apresiasi positif, dan dapat menumbuhkan minat atau motivasi siswa untuk mengembangkan yang lebih baik lagi.
Fase kedua dalam belajar melalui model adalah fase retensi. Retensi adalah kemampuan mengingat sesuatu dalam jangka waktu yang lama dalam memori jangka panjang, bukan memori jangka pendek yang mudah dilupakan. Sebuah model yang menarik, aktual, populer, dan dikuatkan dengan simbol-simbol, media, kata-kata, dan nama-nama yang menarik, memiliki peranan penting dalam memperkokoh ingatan jangka panjang. Ingatan jangka panjang terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan secara konkrit biasanya lebih tahan lama daripada diteorikan atau diceramahkan secara abstrak.
Ingatan jangka panjang terkait dengan aspek-aspek yang dimodelkan akan mendorong siswa untuk menemukan ciri-ciri dari aspek-aspek yang dimodelkan, menemukan kelebihan dan kekurangan dari model, dan sekaligus dapat memproduksi model lain yang lebih menarik dan inovatif. Fase reproduksi ini akan menepis anggapan yang melemahkan teori pemodelan yang memandang bahwa pemodelan akan melahirkan plagiatisme, melahirkan pembelajar yang hanya pandai meniru. Justru dari model yang ditampilkan inilah para pembelajar belajar dan menciptakan model baru yang jauh lebih baik.
Buah dari reproduksi adalah reinforcement atau penguatan berupa pujian atau bentuk-bentuk yang lain. Penguatan ini akan memberikan motivasi atau semangat untuk membuat model yang lebih baik. Dari penguatan inilah seorang pembelajar akan berani menampilkan model yang dibuatnya dengan penuh keberanian.
Hillocks (dalam Norton and Norton, 1985) menyatakan bahwa teknik modeling adalah penggunaan model untuk memperkaya stuktur pengetahuan atau skemata isi terkait dengan aspek yang akan dikembangkan. Melalui model ini siswa diajak untuk menganalisis dan mensintesis kelebihan dan kekurangan model dan mengembangkan model lain yang lebih baik.
Pemodelan atau modeling adalah salah satu prinsip penting dalam pengajaran dan pembelajaran kontekstual. Pemodelan diartikan oleh Oka (2002) sebagai kegiatan guru dalam memberikan contoh, memeragakan, atau mendemontrasikan. Tujuan pemodelan adalah agar siswa mengetahui, melihat, dan dapat melakukan dengan baik hal yang dicontohkan oleh si pemodel (Oka, 2002). Tujuan pemodelan juga untuk: membahasakan gagasan yang kita pikirkan, mendemonstrasikan bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, atau melakukan apa yang kita inginkan agar siswa melakukannya (C Star, 2001). Ketiga pengertian tentang modeling di atas memiliki prinsip yang sama, yaitu pemberian model untuk dianalisis kelebihan atau kekurangannya dan untuk menciptakan model yang lebih baik.
Pilar 6: Penilaian Otentik
Penilaian adalah proses pengumpulan data/bukti untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa. Berdasarkan definisi tersebut, maka penilaian kelas dapat diartikan sebagai proses pengumpulan informasi yang dilakukan oleh guru untuk mengukur proses dan hasil belajar siswa. Definisi ini selaras dengan definisi yang dikemukakan oleh O’Malley dan Valdez Pierce (1996) yang menyatakan bahwa penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang merefleksikan proses belajar siswa, kemampuan siswa, motivasi dan sikap-sikap siswa dalam pembelajaran. Definisi ini menyatakan bahwa fokus penilaian kelas adalah proses dan hasil belajar siswa.
Penilaian otentik dapat didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan siswa melalui berbagai teknik pengukuran yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah dikuasai dan dicapai (O’Malley dan Valdez Pierce 1996).
Harsiati (2004:8) menggunakan istilah penilaian otentik untuk mendeskripsikan berbagai bentuk penilaian yang merefleksikan proses pembelajaran yang dialami siswa, kemampuan siswa, motivasi siswa, dan sikap yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penilaian otentik menuntut siswa mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuannya dalam konteks yang bermakna. Penilaian otentik mengamanatkan agar instrumen penilaian benar-benar dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kelas dan penilaian otentik memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitannya adalah: penilaian kelas, yang fokusnya mengukur proses dan hasil belajar siswa, harus dilaksanakan dengan menggunakan paradigma/prinsip penilaian otentik.
Penilaian otentik yang dilaksanakan dalam pembelajaran didasarkan atas prinsip-prinsip sesuai yang dikemukakan oleh Nurhadi, dkk. (2004:52), yakni:1) harus mengukur semua aspek pembelajaran, 2) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, 3) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, 4) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian, 5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, dan 6) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan hanya sekedar keluasannya (kuantitas).
Proses penilaian otetik harus dilaksanakan secara terus-menerus (should be a continuous process) (Hill,dkk.,1998), yaitu guru secara terus-menerus berinteraksi dan mengamati aktivitas siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Untuk mewujudkan penilaian yang seperti itu, akhir-akhir ini telah dikembangkan beragam alat penilaian otentik, yaitu potofolio, performasi/kinerja, lembar observasi, jurnal, log, dan tes.
Pilar 7: Refleksi
Refleksi atau Reflection adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah dan merespon semua kejadian, aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan jika diperlukan.
Dalam menerapkan prinsip refleksi ini diperlukan keterbukaan dari guru untuk menerima kritik dan saran terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan guna perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dengan memperhatikan prinsip ini sebenarnya guru dituntut untuk menyiapkan pembelajaran secara baik dan seksama agar respon balik yang kita terima juga baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar